18 Agustus 2009

CERPEN: SELINGKUH

Setelah memarkirkan mobil, Wulan bergegas menuju gedung yang saat itu masih sepi. Ia merasa lega karena tidak mendapati seorang pun teman sekantor atau orang yang ia kenal, kecuali seorang petugas keamanan yang sempat ditemuinya di gerbang area perkantoran itu. Memang keadaan seperti inilah yang ia harapkan.

Wulan mempercepat langkahnya. Lampu penerangan jalan masih banyak yang menyala. Waktu memang baru menunjukkan pukul lima pagi. terlalu dini bagi semua orang untuk tiba di tempat kerja pada jam seperti ini. Dan semua tampak berjalan seprti yang telah dibayangkan olehPak Hendra. "Benar-benar sempurna," pikir wulan. Sesekali wajah yang ramah itu hadir di pelupuk matanya, membuat perempuan itu tersenyum seorang diri.

Sudah lama Wulan tak merasakan sensasi seperti ini. Terakhir kalinya ia menikmatinya ialah ketika awal -awal ia berkenalan dengan Dimas - suaminya kini. Gugup, senang, gelisah, ingin selalu berjumpa, itulah yang ia rasakan kembali saat ini. Tapi tidak pada Dimas, melainkan pada Pak Hendra, sosok CEO paruh baya berkepribadiaan hangat yang baru satu tahun menjabat di tempatnya bekerja.

Entah karena apa Wulan begitu bersimpati pada bos barunya tersebut. Mungkin ketika Pak Hendra mulai menceritakan tentang keadaan istrinya yang sakit keras. Yang bertahun-tahun cuma bisa berbaring di tempat tidur. Yang akhirnya tak bisa melayani suaminya. Tak bisa melayani! Mungkin inilah yang membuatnya simpatik. Wulan merasakan benar begaimana rasanya tak terlanyani. Dimas yang tampak gagah saat masa pacaran ternyata begitu lemah kala menjadi suami. Bahkan sejak dimalam pertama.

Sebenarnya Wulan tak ingin menjadikan ini semua sebagai pembenaran atas perbuatannya. Tapi Ia juga tak ingin melepas sensasi yang kini menderanya. Apalagi kamungkinan ia akan mendapat setitik kenikmatan dari seorang pria, tak peduli apapun statusnya.

Wulan meninggikan kerah jaketnya. Udara masih begitu dingin. Ia harus segera masuk ke gedung itu dan melesat ke lantai paling atas. Ia benar-benar tak sabar. Namun ketika kakinya baru saja melangkah memasuki lobby gedung, seorang petugas cleaning sevice tiba-tiba menegur.

"Tumben Bu pagi sekali datangnya?" ujar petugas itu seraya tersenyum.

Wulan benar-benar terkejut. Ia sungguh tak menyangka akan menemukan seseorang di sini. Walau ia sudah menduga bahwa akan ada satu dua petugas di gedung ini, tapi ia sunguh tak mengharapkan untuk berpapasan dengan salah satunya di area gedung yang sebenarnya luas ini.

"Iya lagi banyak kerjaan," jawab Wulan akhirnya dengan singkat. Sebenarnya ia ingin berkata, "apa urusan kamu," saking kesalnya karna terkejut, tapi ia urungkan. Ia tak ingin petugas itu bertanya-tanya nantinya bila ia menjawab dengan emosi. Dan lagi ia tak perlu khawatir. Seperti halnya petugas keamanan tadi, petugas cleaning service inipun cuma menjalankan tugasnya seperti biasa tanpa bermaksud mencurigai keberadaannya. Perempuan itu berusaha menenangkan diri. Paling tidak semua masih berjalan dengan terkendali.

Tapi yang Wulan tak habis menyesalkan sebenarnya adalah tempat yang dipilih Pak Hendra. Kenapa bukan di hotel atau di puncak, seperti cerita-cerita yang sering didengarnya tentang perselingkuhan biasa terjadi. Tapi apa itu cuma cerita-cerita saja. Toh ia juga belum pernah melihat langsung apalagi menjalaninya. Kecuali hari ini apabila ia benar-benar melakoninya.

Kini Wulan jadi selalu saja merasa ada orang yang mengikutinya dari belakang. Berkali- kali ia menoleh dengan perasaan berdebar. Dia mulai meragukan alasan yang dikemukakan Pak Hendra yang mengatakan jika mereka melakukannya di lingkungan kerja, kemungkinan orang mencurigainya akan lebih kecil. Dibanding kalau mereka melakukannya di hotel atau tempat lain. Sebab menurut pria yang selalu tampil klimis itu, dirinya telah dikenal luas sebagai pribadi yang gila kerja dan tak jarang berada di kantor hingga pagi buta. Jadi akan terlihat wajar jika seorang atasan tiba-tiba membutuhkan sekretarisnya.

Tapi bukankah ini juga yang sering memunculkan rumor tak sedap tentang hubungan antara atasan dan bawahan itu. Hati Wulan jadi kecut. Ia takut kalau-kalau ada orang yang mencium hubungan ini. Apalagi jika petugas cleaning service tadi bisa membaca kegugupannya. Wulan mempercepat langkahnya!

Baru ketika berada di dalam lift dan berdiri seorang diri Wulan bisa menarik nafas lega. Ia mencoba menenangkan diri. Perasaan-perasaan gelisah dan takut yang tadi mulai menghantui berangsur-angsur menghilang.

Dalam keheningan ruangan persegi empat berdinding kaca itu Wulan teringat Dimas - suaminya - yang tadi begitu lapang mengijinkanya pergi. Selama masa empat tahun pernikahannya Dimas selalu baik padanya. Sikapnya sebagai suami begitu sempurna. Tak pernah sekalipun lelaki itu melontarkan kata-kata yang membuat hati wulan yang peka terluka. Perangainya pun tak pernah kasar. Tapi mengapa laki-laki yang sempurna itu begitu lemah dalam hal yang begitu intim. Mungkin Wulan harus melepaskan lebel sempurna yang sempat ialekatkan pada Dimas sejak masa pacaran. Mungkin benar bahwa di dunia ini tak ada yang sempurna.

Kini pernikahannya benar-benar diuji, pikir wulan. Tidak, bukan pernikahannya yang diuji, melainkan naluri dan kebutuhannyalah sebagai perempuan normal yang diuji. Dan seperti kata statistik, pernikahan biasanya akan bertahan lama setelah masa lima tahun. Maka ini adalah masa yang penuh tantangan baginya. Wulan tercenung. Gairah yang sejak dari rumah begitu menggebu tiba-tiba menguap entah kemana.

Tapi ketika terdengar bunyi ting dan pintu lift membuka di lantai paling atas, Wulan begitu tak sabar untuk menjumpai pria dengan rambut yang mulai ditumbuhi uban itu. Apa yang akan terjadi nanti terjadilah! Senyum Dimas berganti senyum Pak Hendra.

Segera Wulan menghambur menyusuri koridor menuju ruangan yang telah disepakati. Tubuhnya serasa berkeringat membayangkan apa yang pertama kali akan di ucapkan oleh Pak Hendra pada dirinya : komentar nakalkah? Atau ucapan mesra? Rasa geli juga menyelimuti hatinya saat menduga-duga pakaian apa yang dikenakan pria yang pintar merayu itu; masih berpakaian piyamakah? Sudah berpakaian kantor? Atau tak berpakaian sama sekali? Dada Wulan berdesir.

Perlahan-lahan Wulan membuka pintu ruangan yang telah disepakati. Ruangan itu begitu sepi, benar-benar mati. Bahkan ia bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang. Wulan jadi gelisah membayangkan jika saja Pak Hendra lupa pada janjinya atau tiba-tiba mengurungkan niat.

"O tidak, apa ini?" tiba-tiba saja Wulan merasakan seseorang menyergapnya dari belakang dan menciumi rambut serta lehernya. Begitu ia membalikkan badan pak Hendra tengah tersenyum.

"Wulan waktu kita tidak banyak," ucap Pak Hendra dengan suara bergetar. dan segera manciumi bibir Wulan . Wulan agak tergagap, tapi ia maklum. Ia juga akhirnya mengerti mengapa Pak Hendra bagitu menenggelamkan diri pada pekerjaannya. Wulan pun kemudian mulai menikmati apa yang selama ini tak pernah didapatnya dari Dimas.

Akhirnya ketika semua hasrat telah terbayar lunas, dua insan yang tengah mabuk kepayang itu lemas terduduk di sofa panjang.

"Apa kamu senang Wulan?" tanya Pak Hendra.

Wulan mengangguk , "Begitulah Pak."

"Jangan panggil Pak, seperti jam kerja saja, terlalu formil. Cukup Mas," ucap Pak Hendra sambil mengelus wajah perempuan yang masih berkeringat itu.

Wulan kembali mengangguk dan tersenyum.

"Tapi Mas, kita tadi kan tidak sempat pakai pengaman, bagaimana jika ini berbuah?"

"Gugurkan saja," jawab Pak Hendra tegas, seperti membuat keputusan bisnis." Apalagi jika buah itu berjenis kelamin perempuan. Nanti karir kita berdua bisa hancur."

Tiba-tiba saja dada Wulan seperti runtuh. Ia bagai berhadapan dengan laki- laki dari zaman arab jahiliyah yang merasa beruntung jika bisa mengubur hidup-hidup bayi perempuan mereka.

Segera saja Wulan berdiri dan berkata dengan nada formal, "Selamat pagi Pak, saya minta izin ke belakang." Seingatnya Dimas - suaminya - tak pernah berkata sekasar itu.


M Dadan Suryana